Dibalik Konser “Letters To President”
Akhir-akhir ini, semakin banyak permasalahan social yang terlahir dari isu SARA di Indonesia. Mulai dari pembunuhan jemaat Ahmadiyah, pembakaran gereja, penyegelan gereja di Bogor, ancaman pembongkaran patung Buddha, bom buku, bom di Masjid Cirebon dan lain-lain. Sebagai wujud keprihatinan atas semua permasalahan tersebut, sekelompok anak muda Yogyakarta memprakarsai Letters To President, dimana masyarakat bebas mengeluarkan aspirasinya dalam sepucuk surat untuk Presiden.
Suasana Liquid Café yang terletak di Jl. Magelang Km 5,5 Yogyakarta malam hari itu sangat ramai. Hujan deras yang mengiringi malam itu tidak menyurutkan sekumpulan anak muda Yogyakarta untuk hadir dan meramaikan Liquid Café. Banyak anak muda berdandan ala punk. Terlihat pula sekelompok eksekutif muda berusia matang dan sekelompok remaja berusia 20an dengan style mereka masing-masing. Mereka datang bukan untuk dugem ataupun sekedar having fun. Mereka datang untuk satu tujuan, kepedulian terhadap negara. Total ada sekitar 105 pengunjung yang datang malam itu.
Malam itu memang Liquid Pub mengadakan konser yang cukup spesial. Sebuah konser kepedulian bertajuk Letters To President. Konser yang tidak dipungut biaya sepeser pun ini dimeriahkan oleh beraneka ragam musisi dan para seniman Yogyakarta. Mulai dari penyanyi, modern dancers, hingga penari tradisonal. Masing-masing pengisi acara berasal dari latar belakang yang berbeda. Sebagian dari mereka bahkan mungkin yang selama ini dianggap ’kaum marjinal’ (masyarakat terpinggirkan, red). Kenapa? Karena keberagaman itu sebenarnya indah, seperti semboyan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Terdengar sangat nasionalis, karena memang konser ini ingin menunjukkan kepedulian masyarakat, khususnya dari Yogyakarta atas semua permasalahan sosial yang ada di Indonesia. Bentuk kepedulian dapat datang dari siapapun, tidak peduli bagaimana latar belakang orang tersebut. Masing-masing pengunjung yang datang malam itu hanya diwajibkan membawa sepucuk surat, untuk Presiden Republik Indonesia. Melalui surat tersebut, mereka berupaya untuk menyuarakan aspirasi atau uneg-uneg atas semua yang terjadi di Indonesia. Semua peristiwa yang membuat semua masyarakat, termasuk para pengunjung, pengisi acara dan panitia acara merasa ’gerah’ dan ingin berbuat sesuatu untuk negaranya.
Berawal Dari Twitter
Mulai dari pelajar hingga mahasiswa terlibat dalam penyelenggaraan acara Letters To President ini. Empat orang diantaranya adalah Kanina Sistha (Tata), Keinesasih HP (Ines), Rosyana Putri (Putri) dan Marceline Yudith (Yudith). Mereka adalah sekelompok mahasiswa UGM dan Atmajaya yang juga aktif di kegiatan-kegiatan lain. Ines aktif dalam kegiatan debat dan Tata aktif dalam teater dan fotografi. Yudith dan Putri kini sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2.
Pada awalnya keempat perempuan ini bersama teman-teman mereka yang lain kerap mendiskusikan berbagai masalah yang ada di Indonesia melalui jejaring sosial Twitter. Mereka juga menyimak twit (status pengguna dalam akun Twitter, red) masyarakat lain yang banyak mendiskusikan masalah serupa. Banyak sekali masyarakat yang mengutuk tindakan anarkis para pelaku dan ada pula yang ’mempertanyakan’ kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah tersebut.
Bentuk kepedulian hanya diwujudkan melalui demonstrasi terhadap pemerintah dan orasi besar-besaran. Ada pula yang melakukan renungan malam, seperti tampak di depan Stasiun Tugu, Yogyakarta; depan Bundaran HI dan Istana Negara, Jakarta, yang dikenal dengan istilah ”Senin Hitam”. Acara renungan ini sebagai bentuk kekecewaan dan duka cita pasca peristiwa pembantaian jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten 6 Februari 2011 lalu. Saat itu, masyarakat yang ikut hadir dalam ’Senin Hitam’ hanyalah memakai baju hitam dan berdo’a bersama. Akan tetapi, setelah terselenggaranya acara-acara tersebut, tidak ada tindakan yang cukup konkrit untuk menyampaikannya secara langsung kepada Pemerintah.
”Pasca kejadian 6 februari itu ada gerakan yang namanya Senin Hitam, hari Senin itu hari berduka cita pake baju hitam semua. Kalo di Jakarta itu di depan istana Negara sama bundaran HI, kalo di Yogya di depannya Tugu, tapi ya udah cuma ngumpul-ngumpul doang trus abis gitu doa bersama, deklarasi gitu yang menyatakan kebhinnekaan, Tapi gak ada yang nyatet orang yang datang itu berapa, gak ada yang merecord kata-kata atau bentuk kepeduliannya kayak apa. Jadi bener-bener cuma pake baju item aja, ngumpul-ngumpul trus bubar,” ungkap Ines, kepada Nyata saat ditemui bersama dengan Tata, Yudith dan Putri di Oyot Godhong Cafe, Mirota Batik Lantai 3, Jl. A. Yani 09, Yogyakarta (19/5).
Ines pun menambahkan bahwa segala permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia, dan hampir semuanya berbau SARA, sangat tidak sesuai dengan semboyan Indonesia selama ini, Bhineka Tunggal Ika. Ines dan kawan-kawan juga semakin gerah dengan semua komentar pedas dan orasi yang hanya diteriakkan melalui jejaring sosial. Mereka membandingkannya dengan situasi Indonesia beberapa tahun silam yang aman dan damai hidup dalam keberagamannya masing-masing.
”Padahal kan Indonesia itu khan konon Bhinneka Tunggal Ika, dan sampe beberapa tahun yang lalu itu gak ada kasus-kasus yang mengatasnamakan agama, sekaarang kok kayaknya ibadah aja jad susah bahkan sampe bunuh-bunuhan gitu, korban berjatuhan.
Pemicunya itu sebenarnya dari twitter, di twitter itu khan banyak orang yang istilahnya memperhatikan masalah-masalah sosial, berita-berita di koran, trus mereka berdiskusi dan berkomentar disitu. Cuma lama-lama kok hanya sebatas di twitter aja, padahal di situ mereka caci makinya beneran serius. Mereka hanya sebatas mengutuk pemerintah dan pelaku, tapi mereka gak berbuat apa-apa. Walaupun banyak kejadian yang menyusul seperti bom gereja dan sebagainya,orang masih mengutuk-ngutuk di belakang aja, kalaupun hanya orasi, itupun hanya sebatas orasi di jalan gak ada lanjutannya,” tambah Ines.
Hingga pada awal Mei lalu, melalui akun twitter pula, tercetuslah ide untuk menulis surat pada Presiden, karena Presiden dianggap sebagai penguasa tertinggi di Indonesia. selama ini, orang seringkali ingin menyuarakan aspirasinya tetapi tidak tahu harus ke siapa dan bagaimana caranya. Tak disangka, banyak tanggapan positif mengenai ide menulis surat kepada Presiden tersebut. ”Itu awalnya juga dari twitter, nulis ’kalo misalnya aku pengen ngomong langsung ma Presiden, kamu pengen ngomong apa?’ Nah trus akhirnya kita langsung ‘ya udah kenapa gak bikin acara Letters To President aja’, ungkap Tata. ”Selama ini orang pengen ngomong ke pihak yang berkuasa, otoritas, tapi mereka gak tau mau ngomong ke siapa, dan simbolnya orang yang paling berkuasa itu khan ya Presiden Indonesia. Makanya acaranya namanya Letters To President,” tegasnya lagi.
Mereka pada dasarnya hanya menginginkan setiap orang, tanpa kecuali, baik pengunjung, panitia maupun pengisi acara hingga orang lain di luar Yogyakarta dapat menyuarakan kepeduliannya secara konkret. ”Jadi, yang menyuarakan itu bukan hanya dari yang mbikin acara ini tapi yang datang dan para pengisi acara juga turut menyuarakan aspirasi mereka masing-masing,” ujar Tata. Tata pun menambahkan bahwa Letters To President ini adalah semacam gerakan kepedulian terhadap negara, yang berawal dari rasa cinta tanah air warga terhadap negaranya.
Dua Minggu Penuh Dengan Dukungan Dan Cibiran
Ada sekitar 30 orang yang menjadi tim penyelenggara acara Letters To President ini. Mulai dari pelajar hingga aktivis sosial. Masing-masing mendapat tugas sendiri-sendiri, mulai dari publikasi, logistik, dokumentasi, volunteer dan lain-lain. Tata dan Ines sebagai koordinator acara, Putri sebagai koordinator volunteer dan Yudith sebagai sekretaris. ”Intinya disini kita kerja bareng-bareng, kalo ditanya dari mana aja panitianya, ya dari mana-mana, ada yang masih SMA juga,” ungkap Yudith, diiyakan oleh ketiga temannya.
Twitter dalam hal ini benar-benar sebagai media pulikasi yang utama, begitu pula halnya dengan Facebook. Tawaran untuk keterlibatan langsung dalam acara ini juga diutarakan melalui Twitter. ”Kita ngumumin di twitter aja, sapa yang mau jadi volunteer. Kita juga tulis mau adain rapat disni, kita sebutin lokasinya dan mereka benar-benar datang,” ungkap Ines.
Tidak hanya itu, mereka bahkan membuat akun resmi Letters To President, yaitu @letterstoRI1. Setiap pengguna twitter dapat mengaspirasikan suaranya melalui akun tersebut. Akun twitter keempat perempuan hebat ini juga dijadikan wadah penerimaan surat, @miss_pascal (akun milik Tata), @inestjokro (akun milik Ines), @utiedputri (akun milik Putri) dan @judithchen (akun milik Yudith).
Website resmi Letters To President, yaitu www.letterstopresident/posterous.com menjelaskan konsep acara Letters To President itu sendiri. Pengakses juga dapat mengetahui para pengisi acara dan informasi-informasi lain yang terkait dengan acara Letters To President ini. Sementara itu, bagi masyarakat di luar Yogyakarta juga dapat mengirimkan surat melalui email resmi Letters To President, yaitu letterstopresident@gmail.com
Terselenggaranya acara ini tidaklah semudah kata-kata yang diutarakan melalui twitter. Banyak sekali masyarakat yang meragukan kesuksesan acara ini. Mereka beranggapan bahwa acara ini hanyalah kesia-siaan belaka, tidak ada manfaatnya sama sekali. Mereka beranggapan bahwa tidak ada gunanya menulis surat, toh Presiden tidak akan membacanya. ”Banyak yang nyibir, emang bakal dibaca ya? Mereka merasa percuma kalo itu gak dibaca langsung sama Presiden, padahal cuma butuh nulis berapa menit doang,” ujar Putri.
Segala bentuk cibiran tidak menyurutkan semangat para perempuan cantik ini dalam mewujudkan misi kepeduliannya. Mereka terus berupaya untuk menginformasikan kepada masyarakat, baik itu melalui twitter maupun facebook. Majalah Rolling Stone dan media online detik.com juga turut mendukung kelancaran acara Letters To President ini. ”Banyak dukungan juga sebenarnya, seperti dari Rolling Stone. Jadi aku hanya ngasih tau ke salah satu jurnalisnya Rolling Stone, Mas Soleh Solihun. Aq ngomongnya di twitter dan dia langsung bikin fitur sendiri di websitenya Rolling Stone. Dia membantu mengabarkan juga lewat twitter. Jadi semakin banyak dukungannya ya semakin banyak juga cibirannya. Tapi ya gak masalah bagi kita sih,” ungkap Ines.
Beberapa musisi seperti Glenn Fredly dan gitaris Superman Is Dead, Jrx (baca: Jerinx) juga ikut mengabarkan acara Letters To President melalui Twitter. Bahkan, anak sulung almarhum Gus Dur, Alissa Wahid dan Jaringan GUSDURian, yaitu para pengkaji dan penelaah filsafat Almarhum Gus Dur juga sama-sama mendukung terlaksananya acara ini. Bahkan Sujiwo Tedjo juga ikut menyuarakan suara hatinya kepada Presiden melalui akun @letterstoRI1.
Biaya Sendiri
Tidak ada sponsor, acara Letters To President ini terselenggara murni biaya sendiri. Bahkan publikasinya hanya sebatas melalui Twitter dan Facebook. Mereka juga mengundang para musisi dan seniman Yogyakarta yang secara tulus ingin ikut andil dan menunjukkan kepeduliannya terhadap acara ini, tentu saja tanpa dibayar. Para musisi dan seniman yang tampil ini juga memiliki banyak massa di Yogyakarta. ”Karena kita memang swadaya jadi gak bisa jor-joran gitu publikasinya. Jadi kita lewat internet. Para performers pun, selain karena mereka yang deket, mereka mau perform untuk charity, tanpa bayaran, mereka juga punya cukup banyak massa di Jogja,” ungkap Inez.
Mereka memang menolak keberadaan sponsor untuk mendukung acara Letters To President. Hal ini dikarenakan mereka tidak mau ada unsur bisnis atau politik dalam acara ini. ”Ini aja kita nirlaba dan swadaya jadi gak ngambil untung sama sekali, gak dapet sponsor sama sekali karena kita memang gak mau, maunya donasi kalaupun ada yang mau membantu kita. Kalo sponsor memang kita gak mau untuk menghindari nama-nama yang menunggangi acara ini. Karena kita pengen bener-bener acara ini pure kepedulian masyarakat dari masyarakat dan untuk masyarakat juga. Kita gak pengen ada embel-embel nama lembaga atau apapun. Kita hanya ingin bener-bener individu-individu yang care,” ungkapnya lagi.
Bahkan, lokasi acara Letters To President, di Liquid Café juga tidak dipungut biaya. Sang owner sendirilah yang memberi izin dan dia juga ingin turut andil dalam konser kepedulian ini. ”Ownernya sendiri memberi tempat itu karena mereka tertarik dengan acara dan mereka peduli, kalo gak ya mereka gak akan mendukung dalam memberikan support seperti itu,” tegas Tata.
Penampilan All Out Para Performers
Konser Letters To President yang dimulai sekitar pukul 20.00 malam itu menampilkan beberapa musisi dan seniman berbakat diantaranya Jenny, sebuah band rock modern yang sempat mengisi original soundtrack (OST) film Radit & Jani (2008) dengan lagu ‘Matimuda’. Heinrich Maneuver, sebuah band post-punk yang juga finalis nasional LA LIGHTS INDIEFEST tahun 2007. Selain itu juga penampilan dari komunitas Drag Queens dan penari tradisional, Caca Mranggi. Ada pula penampilan dari Jazzmbensenen, komunitas jazz dari acara Jazz Mben Senen serta Deep ’n Free band, sebuah band beraliran rock n roll yang juga juara I Parade Band 2011 se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Para performers ini memang berasal dari latar belakang yang berbeda, seperti Drag Queens yang seluruh personelnya adalah waria. Begitu pula halnya dengan Caca Mranggi, seorang tuna rungu. Band Jenny, Heinrich Maneuver, Deep ’n Free band dan Jazzmbensenen juga berasal dari genre yang berbeda. Semua ini hanya untuk menunjukkan bahwa sebenarnya keberagaman itu dapat hidup berdampingan dengan damai. ”Kita memilih performer yang berbeda-beda untuk menunjukkan bahwa keberagaman itu indah,” ujar Tata.
Setiap performers membawa massanya (fans,red) sendiri-sendiri. Akan tetapi, para fans tersebut juga datang dengan membawa surat untuk Presiden. Salah seorang personel Jenny, yang akrab disapa Mas Gondrong, bahkan sempat menanyai para fans apakah mereka membawa surat atau tidak. ”Endi surate? (mana suratnya?, red), kamu kesini mau nonton band-band an atau nunjukkan kepedulian kamu, kalo misalnya cuma mau nonton band-band an gratisan ya mending pulang aja,” pertanyaan itulah yang selalu ditanyakan Mas Gondrong kepada para fans yang berusaha masuk ke dalam Liquid Café. Tata pun menambahkan bahwa surat-surat yang ditulis para fans tersebut juga benar-benar menunjukkan kepedulian mereka terhadap Indonesia. ”Sebagian besar surat-surat yang ditulis fans-fansnya Jenny memang surat beneran, mereka gak hanya sekedar nulis surat tetapi beneran peduli,” tambah perempuan berkacamata ini.
Totalitas para performers juga patut diacungi jempol. Walaupun tidak dibayar, para seniman dan musisi ini benar-benar tampil all out selama konser Letters To President. Masing-masing dari mereka benar-benar menunjukkan totalitasnya sebagai seorang musisi dan seniman. Masing-masing performers tampil selama sekitar setengah jam. Drag Queens misalnya, yang berdandan ala Shakira lengkap dengan tarian perutnya. Caca juga menarikan tari kreasi ciptaannya sendiri, yaitu tari Bali kreasi India. ”Mereka bener-bener berdandan ala penyanyi yang dibawakan. Jadi kalo shakira ya bener-bener mirip Shakira plus tari perutnya,” tambahnya lagi.
Isi Surat: Mulai Kritikan Pedas Hingga Ungkapan Kasih Sayang
Beragam jenis surat telah diterima panitia Letters To President. Isi surat tersebut juga bermacam-macam, mulai dari kritikan pedas terhadap SBY, bahkan yang sekedar bercerita tentang diri sendiri. Banyak pula yang mengungkapkan rasa sayangnya kepada SBY dengan setulus hati. Kebanyakan isi surat-surat tersebut adalah permohonan seorang rakyat kepada pemimpinnya. Topik utama yang banyak dibicarakan dalam surat adalah permasalahan korupsi, harga BBM, tarif pendidikan, kerusuhan, bahkan permasalahan PSSI.
Hanya saja, surat-surat bernada protes tersebut, tetap dituliskan secara sopan kepada Bapak SBY. Putri sendiri pun merasa terenyuh setiap membaca surat yang bernada pujian sekaligus kritik terhadap SBY. ”Kepada Bapak Presiden yang terhormat, yang diberkahi rahmat. Jadi ketika kita mbaca itu bener2 terenyuh sendiri gtu. Ada juga yang nanya ’Bapak kenapa kok harga-harga mahal, pendidikan kita gak digratisin, kenapa Bapak kok ga bisa membubarkan organisasi-organisasi yang sarat dengan kekerasan’. Intinya thu banyak yang peduli. Jadi walaupun isinya mungkin bernada protes, tetapi atasnya itu bener-bener rasa sayang, seperti ’Bapak presiden yang saya hormati dan keluarga, semoga selalu dalam lindungan Tuhan YME,’ tutur Putri. Tata pun ikut menambahkan ”Jadi suratnya itu bener-bener yang prihatin bukan yang marah-marah,”.
Seperti surat dari Rahma juga bernada sama ”let us together, Mr. President, pemerintah n rakyat bersatu biar gak ada huru hara lagi.. Ayo Pak Pres,, SEMANGAT,, sy yakin jika bersama-sama bangsa kita ini bisa besar juga kok.. sekarang tinggal cara Bapak merangkul semua elemen masyarakat mulai dari yang terkecil sekalipun.. Bapak khan tentara,, jadi saya yakin Bapak bisa bersikap tegas sama bawahan2 Bapak yang 'dodol' itu.. disingkirin aja mereka biar gak jadi sampah negara..
terima kasih.. :)”
Atau surat dari seseorang berinisal N “Mohon dibantu membuat Indonesia yang kuat, bukan pencitraan diri yang kuat,”. Alex dalam akun twitternya @Alex_Junaidi menulis ”Tdk pernah bosan menyerukan keberagaman,”. Senada dengan Misha, yang menulis “Dear SBY, whatever people say about you, I think you RAWK!” (Yang Tersayang SBY, apapun yang orang katakana tentangmu, menurutku kamu KEREN!, red). Senada dengan mereka, Anon pun menulis “Mr. President, Heal our country PLEASE!!!” (Bapak Presiden, Tolong sembuhkan Negara kita!!!, red)
Beberapa isi surat juga mengungkapkan kekecewaan atas pemerintahan SBY. Seperti surat dari Pinandito, melalui akun twitternya @Pinandito15 ”Pak, punya nyali-kah anda untuk membubarkan organisasi2 penuh kekerasan yg selalu mengatasnamakan agama?”.
Atau surat dari Fajar, ”Saya berpesan agar bapak selalu ingat kepada rakyat kecil. Ingat, rakyat yang memilih Anda, bukan menteri,”. Reza bahkan mengutuk keras para pelaku korupsi ”Saran saya, setiap orang yang berkorupsi dihukum MATI,”
Setiap penulis surat memang bebas untuk menyuarakan aspirasinya disini. Surat-surat yang terkumpul nantinya akan di scan dan diupload dalam situs resmi Letters To President www.letterstopresident/posterous.com. Setiap orang yang mengakses situs ini akan mengetahui bahwa masih banyak masyarakat yang masih peduli permasalahan sosial Negara. “Selain ke Presiden, tujuannya kita bilang ke masyarakat sendiri bahwa ada yang peduli masalah ini, dengan cara kita scan semua suratnya dan kita tampilkan di website, dan semua orang bisa liat dan mbaca entry-entry surat ini. Bahwa masih ada yang peduli tentang masalah ini, katakanlah kita ngomong ke ekstremis-ekstremis yang mengatasnamakan agama, kalian punya musuh, kami gak diam melihatnya. Kami juga pengen ngomong ke orang-orang minoritas yang didiskriminasi itu bahwa masih ada yang peduli sama kalian, kalian gak sendirian. Walaupun kami mayoritas, tapi kami ikut merasa sedih,” ungkap Ines.
Disampaikan Langsung Kepada SBY
Surat yang terkumpul hingga saat ini adalah sekitar 250 surat. Pada saat konser Letters To President, 15 Mei lalu, jumlah surat yang terkumpul sekitar 153 surat, belum termasuk surat-surat yang melalui email. Surat-surat yang terkumpul akan disampaikan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono. Hingga saat ini, para panitia masih mengusahakan cara termudah untuk menyampaikannya langsung kepada Presiden. Pada awalnya panitia merencanakan untuk menyampaikannya tanggal 17 Agustus 2011 nanti. ”Rencananya nyerahin pas acara 17 Agustus,” ungkap Yudith. Ines pun menimpali ”Sebenarnya gak tanggal 17, itu hanya simbolis. Toh tanggal 17 pasti ada upacara kemerdekaan gitu, pasti banyak banget ceremonial, jadinya gak mungkin. Kita emang lagi cari jalur yang paling deket ke Presidennya. Kami memang punya beberapa kontak kesana,”. Ditambahkan lagi oleh Putri, bahwa salah seorang staf Presiden urusan aspirasi masyarakat bersedia membantu. ”Ada biro-biro yang nangani urusan masyarakat, tapi mereka akan tetep nerima surat ini, sudah ngobrol dengan temen-teman yang bekerja disana, mereka siap mbantu,” ujar Putri. Bagaimanapun, para penitia tetap mengupayakan agar surat-surat tersebut dibaca langsung oleh Bapak SBY.
Kota Lain Segera Menyusul?
Setelah konser Letters To President pada 15 Mei lalu, semakin banyak masyarakat yang tertarik dan akhirnya mengirimkan surat melalui email maupun twitter. Beberapa orang bahkan mengusulkan agar diadakan acara serupa di kota lain, seperti di Surabaya maupun Jakarta. Hanya saja, lagi-lagi biaya menjadi kendala utama dalam masalah ini. Bagi keempat perempuan muda ini, mereka sebenarnya ingin mengadakan acara serupa di kota lain, akan tetapi mungkin untuk saat ini masih belum bisa. Mereka hanya memberi kebebasan kepada para pemuda/i dari kota-kota lain tersebut untuk mengadakan acara yang sama. ”Ada beberapa yang nanya apa juga diadain di kota lain jadi orang gak perlu susah-susah ngirimin surat.. ato via email.. ada beberapa yang pengen ngadain di Jakarta ato Surabaya cuma masi belum tau karena ide2 ini khan dari temen-temen di Jogja,” ujar Tata. Ines pun menambahkan ”Kalo misalnya ada inisiatif dari kota lain yang pengen ngadain ya silakan, tapi kalo misalnya kita yang kesana and ngadain waaaa...” ujarnya sambil tertawa. Sejauh ini menurut Tata, Jakarta kemungkinan besar akan segera mengadakan acara serupa, tinggal menunggu realisasinya.
-Sani-
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar