Senin, 13 Februari 2012
Mother
Aku tidak pernah menulis tentang Ibu sebelumnya, tidak banyak ceritaku dengannya tetapi bukan berarti aku tidak punya cerita apapun. Beliau satu-satunya orang tua yang kupunya saat itu. Satu hal yang paling kuingat tentang Ibuku, beliau adalah sosok yang 'keras', jika aku boleh menuliskan itu. Beliau sangat sayang terhadap anak-anaknya, bahkan bisa kubilang terlalu sayang, bahkan ketika sang anak pergi untuk hal yang baik pun, beliau selalu khawatir. Hari belum juga malam, tetapi Ibu selalu menelpon hanya untuk menanyakan keberadaanku, itulah yang selalu dilakukannya saat aku masih tinggal bersamanya dulu. Bahkan ketika hari semakin larut dan aku belum juga pulang, beliau lagi-lagi menelponku hanya untuk menanyakan jam berapa aku akan pulang. Begitulah Ibuku, sosok yang selama ini berusaha untuk membuatku bahagia tetapi aku justru sering menghiraukannya. Aku tidak pernah 'curhat' dengan Ibuku, yang kulakukan selama ini hanyalah sharing atas keseharianku. Bisa dibilang, beliau tidak pernah tahu aku menangis, down, stres, bahkan depresi. Aku memang berusaha menjadi sosok yang sangat 'tegar' di depan Ibuku, karena aku tidak ingin air mata Ibuku jatuh hanya karena permasalahan yang aku alami. Cuek, santai dan ceria, itulah gambaranku di mata Ibuku. Bahkan ketika Ayahku tiada pun, aku berusaha tetap tersenyum. Iya benar aku menangis, tetapi tidak seperti ketiga kakak perempuanku. Ibuku tidak tahu bahwa aku menangis di pojok kamar sendirian. Ibuku tidak tahu, selang beberapa bulan setelah Ayahku tiada, hatiku hancur hanya karena seorang lelaki. Ibuku juga tidak tahu tatkala beberapa lelaki mencoba mendekatiku kemudian menghempaskanku begitu saja seperti sebuah barang. Ibuku tidak tahu bahwa aku kerap dikecewakan oleh yang namanya 'love'. Aku masih ingat saat aku memulai karirku di dunia media, Ibu kerap menelponku hanya karena aku sering pulang malam. Bahkan saat aku pamit untuk ke Jakarta, Ibuku hanya terdiam. Aku tidak memohon izin, saat itu aku hanya bilang 'Upik hari Senin berangkat ke Jakarta'. Aku tahu jauh di lubuk hati Ibuku, beliau sangat berat melepasku, apalagi aku tidak pernah tinggal jauh dari orang tua. Jujur, saat itu dalam hatiku berkata, 'Kalau nggak sekarang pergi dari rumah ini, kapan lagi?' Aku masih ingat saat Ibuku menelponku untuk menanyakan kapan aku kembali ke Surabaya, aku langsung 'Upik nggak pulang, Upik stay disini aja Bundo, disini lebih enak'. Aku tahu jauh di lubuk hati Ibuku ada pertentangan, di satu sisi beliau senang melihatku betah tetapi di sisi lain beliau menginginkan aku kembali karena beliau berat melepasku. Lagi-lagi Ibuku menganggap bahwa aku sangat 'bahagia' disini. Memang benar aku bahagia, tetapi ada kalanya aku merasa 'benar-benar sendirian. Apalagi saat aku masuk ke dalam kamar kos dan mendapati hanya ada para bonekaku yang jelas-jelas benda mati. Aku pun juga tidak bisa share terhadap mereka. Lalu apa yang aku lakukan? aku mendengarkan musik, menulis atau menangis, hanya ada tiga pilihan. Aku bisa saja share sama dua sahabatku, tetapi mereka mungkin juga lelah menghadapi orang sepertiku. Apalagi di tahun 2012 ini, ingin rasanya setiap kali Ibuku menelponku, aku ingin cerita semua yang kurasakan, tetapi lagi-lagi aku tidak bisa. Ibu, sejujurnya dua bulan ini adalah bulan-bulan terberat bagiku. This is the weaknes moment after dad's death and i still cant go on or move on. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana 'kesendirian' yang aku rasakan sekarang. Suara ceriaku di telepon hanyalah sebuah kamuflase, aku tidak ingin Ibuku memikirkanku. Aku tahu dan paham benar banyaknya beban yang harus dipikul Ibuku saat ini. Sekalipun aku belum menjadi seorang Ibu, tetapi aku tahu perasaan seorang Ibu. Aku hanya tidak ingin menambah beban Ibuku, biarlah aku menjadi sosok yang kuat di mata Ibuku sekalipun sebenarnya aku sangat lemah. Ibu, maafkan aku. Bukannya aku tidak mau cerita banyak denganmu, tetapi entahlah aku lebih suka menyimpannya sendiri tidak untuk di'share'kan kepada keluarga. Tetapi Ibu, tidak semua temanku tahu bahwa sebenarnya aku 'orang yang bermasalah' jika memang bisa dibilang begitu. Mereka pun terkadang menilaiku sama seperti penilaianmu kepadaku, cuek dan ceria. Ibu, maafkan aku karena kau selalu mencari tahu tentang diriku lewat teman-teman kuliahku. Aku ingat tatkala kuliah kau selalu mencariku lewat Irwan atau Citra karena saat itu aku memang belum punya handphone. Dan ketika kau ingin tahu bagaimana perkembangan kuliah dan skripsiku, kau pun menanyakannya pada mereka dan juga teman-teman lain. Mungkin kau hanya termangu saat mereka tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Maafkan aku Ibu, karena tidak pernah terbuka padamu. Mereka juga sebenarnya tidak tahu banyak tentangku. Ibu, entah kenapa tiba-tiba aku sangat merindukanmu. Walaupun aku jarang memeluk dan menciummu. Walaupun saat pulang ke Surabaya aku justru tidak menghabiskan waktuku bersamamu. Tetapi, perlu kau tahu, aku sayang padamu Ibuku. Beginilah caraku menyanyangimu, dengan menjadi seorang yang tegar, kuat, ceria di matamu. Aku harap itu sudah membuatmu bahagia. Insyaallah sampai aku mati aku tidak akan menyusahkanmu. Sekalipun aku memiliki 'masalah', aku akan menyelesaikannya sendiri, seperti yang aku lakukan selama. I promise I'll be just fine Mother, and i pray that God will always protects you. Thanks Mother, for everything, for being a father and also a mother for almost 6 years.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sedih bacanya :(
BalasHapuso iya sedikit saran ajah, kalo bisa warna font nya jangan kuning, apalagi backgroudnnya kuning. bikin pusing klo kelamaan liat monitor
semangat :)